Sanad keilmuan adalah salah satu pilar utama dalam tradisi pendidikan Islam, dan di Al-Qarawiyyin, prinsip ini menjadi inti dari proses pembelajaran. Sanad, yang secara harfiah berarti “rantai” atau “sandaran,” merujuk pada jalur otoritatif dalam transmisi ilmu, memastikan bahwa setiap ajaran dapat ditelusuri kembali ke sumber aslinya, yakni Rasulullah SAW, baik melalui Al-Qur’an, hadits, maupun disiplin ilmu yang dikembangkan berdasarkan keduanya. Tradisi ini menjadi jaminan otentisitas ilmu dan kredibilitas guru serta murid dalam mata rantai keilmuan Islam. Sanad keilmuan lahir dari kesadaran bahwa ilmu harus disampaikan dengan penuh tanggung jawab dan hanya melalui jalur yang sah. Dalam Islam, sanad tidak hanya digunakan dalam transmisi hadits tetapi juga dalam pengajaran berbagai ilmu seperti tafsir, fiqh, bahasa Arab, hingga disiplin rasional seperti filsafat dan matematika.
Sanad keilmuan berperan penting dalam menjaga keaslian dan akurasi ilmu yang diajarkan, sekaligus mencegah terjadinya distorsi atau penyimpangan. Dalam tradisi keilmuan ini, seorang murid tidak hanya dituntut untuk memahami materi yang diajarkan, tetapi juga untuk menghormati otoritas ilmu yang disampaikan oleh gurunya. Guru tersebut, pada gilirannya, memperoleh ilmu melalui jalur sanad yang terhubung langsung ke sumber utamanya. Syekh Idris al-Fasi al-Fihri menegaskan bahwa ilmu tidak semata-mata dicari untuk menambah wawasan, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana ilmu tersebut dipraktikkan. Proses pembelajaran bersama guru bukan hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga tentang menyerap nilai-nilai dan praktik keilmuan yang diwujudkan dalam kehidupan sang guru.
Nilai musahabah atau kedekatan antara murid dan guru memiliki harga yang sangat mahal. Kedekatan ini memungkinkan murid untuk tidak hanya memahami ilmu secara intelektual, tetapi juga merasakan kedalaman spiritual dan praktik nyata dari ilmu tersebut. Dengan demikian, murid dapat menjalin hubungan lahir dan batin yang erat dengan gurunya, menjadikan proses pembelajaran lebih bermakna dan penuh berkah. Di Al-Qarawiyyin, prinsip ini dipegang teguh sebagai landasan pendidikan. Setiap murid diajarkan untuk memahami bahwa ilmu yang mereka pelajari adalah amanah yang harus dijaga dengan baik, termasuk dengan melestarikan sanad keilmuan yang mereka terima.
Guru di Al-Qarawiyyin biasanya menggunakan kitab-kitab klasik, seperti Al-Muwatta’ karya Imam Malik atau Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, sebagai bahan pengajaran. Namun, yang diajarkan bukan hanya isi kitab, melainkan juga konteks dan metode berpikir yang digunakan oleh penulisnya. Guru akan memberikan penjelasan mendalam, melibatkan diskusi, dan menjawab pertanyaan murid untuk memastikan pemahaman yang utuh. Dalam halaqah, tidak hanya materi pelajaran yang menjadi fokus, tetapi juga etika dan adab dalam menuntut ilmu. Para murid diajarkan untuk menghormati guru sebagai penjaga ilmu, menjaga ketertiban dalam halaqah, dan berkomitmen terhadap nilai-nilai akhlak Islami. Dengan pendekatan ini, halaqah menjadi lebih dari sekadar proses transfer ilmu; ia adalah pembentukan karakter dan spiritualitas murid.
Selain halaqah, tradisi pemberian ijazah juga menjadi komponen penting dalam menjaga sanad keilmuan di Al-Qarawiyyin. Ijazah adalah semacam lisensi atau otorisasi yang diberikan oleh seorang guru kepada muridnya setelah murid tersebut dianggap layak untuk mengajarkan ilmu tertentu atau meneruskan pembelajaran kitab tertentu. Proses mendapatkan ijazah tidaklah mudah. Murid harus melalui proses panjang, termasuk menghadiri halaqah secara rutin, membaca kitab di bawah bimbingan guru, dan sering kali harus diuji dalam hal pemahaman serta kemampuan menjelaskan materi tersebut kepada orang lain. Ijazah diberikan hanya jika murid tersebut memenuhi standar yang ditetapkan oleh gurunya. Ijazah ini biasanya berupa dokumen tertulis yang mencantumkan nama guru, murid, kitab yang dipelajari, dan rantai sanad ilmu yang terhubung hingga ke sumbernya selaku penulis pertama. Dengan demikian, ijazah tidak hanya menjadi bukti keilmuan seorang murid tetapi juga menjadi bagian dari dokumentasi sanad ilmu tersebut. Di Al-Qarawiyyin, tradisi ijazah telah berlangsung selama berabad-abad. Banyak ulama besar yang pernah belajar di Al-Qarawiyyin menerima ijazah dari guru mereka di sana. Hal ini menjadikan Al-Qarawiyyin sebagai salah satu penjaga utama sanad keilmuan Islam di dunia barat (Maghrib).
Meskipun Al-Qarawiyyin telah mengalami modernisasi dalam beberapa dekade terakhir, tradisi penjagaan sanad tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari pendidikan di lembaga ini. Sistem pendidikan formal seperti pemberian gelar sarjana, tidak menggantikan tradisi halaqah dan ijazah, tetapi justru melengkapinya. Guru-guru di Al-Qarawiyyin tetap menggunakan metode halaqah untuk mengajarkan ilmu agama dan kitab klasik, sementara mata pelajaran modern diajarkan melalui format kuliah dan seminar. Pendekatan ini memastikan bahwa para murid mendapatkan pendidikan yang holistik, di mana mereka tidak hanya memahami ilmu modern tetapi juga memahami akar tradisi keilmuan Islam.