Marhalah Ula

SEJARAH PENDIDIKAN MARHALAH ULA (M.1)
MA’HAD ALY MUDI MESJID RAYA

Sebagai lembaga pendidikan Islam di masa sekarang, dayah atau lebih dikenal sebagai pondok pesantren di semenanjung pulau jawa masih bertahan dengan tradisi sistem pendidikan yang diwariskan turun-temurun dari satu generasi ke generasi. Lahirnya dayah-dayah di Aceh khususnya dan Indonesia umumnya dilatar belakangi oleh adanya tuntutan masyarakat yang ingin maju dalam segala hal, terutama hal yang menyangkut aqidah, ibadah, mu’amalah, dan lain-lain. Dalam hal itu di antara sejumlah dayah yang ada di kecamatan Samalanga tersebutlah dayah Ma‘hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya Samalanga yang telah lama berkembang dibandingkan dayah-dayah lainnya di Aceh. Penamaan “Mesjid Raya” untuk dayah ini tidak lepas dari kisah bahwa dahulunya sekitar abad ke 16, Sultan Iskandar Muda (Raja Aceh ke 12, memerintah tahun 1607-1636 M) dalam perjalanan ke daerah tersebut mendirikan sebuah masjid, masyarakat di sana menamakannya dengan sebutan “Mesjid Raya” yang berfungsi sebagai tempat ibadah dan tempat pengajian keagamaan bagi masyarakat setempat. Kala itu masjid tersebut di bawah pimpinan (pengelola) Faqeh Abdul Ghani berlokasi di desa Mideun Jok yang sekarang dinamakan kemukiman Mesjid Raya.

Setelah pimpinan pertama wafat, dayah tersebut dipimpin oleh banyak ulama secara bergantian yang kesemua ulama tersebut kurang jelas identitasnya karena tidak ada data atau arsip yang jelas baik tersimpan maupun dari hasil wawancara dengan masyarakat setempat yang mengetahui sejarah. Khazanah sejarah kembali tercatat bahwa pada abad ke-19 dayah/pesantren ini kembali dipugar atas prakarsa ulama dari pihak Ulee Balang, yaitu Muhammad Ali Basyah yang didukung oleh para tokoh masyarakat setempat. Tepatnya pada tahun 1927 M lembaga dayah ini dipercayakan untuk dipimpin oleh Teungku H. Syahabuddin bin Idris yang kala itu santrinya terdiri dari 100 orang putra dan 50 orang putri dengan tenaga pengajar 5 orang putra dan 2 orang putri. Sesuai dengan kondisi zaman pada saat itu, bangunan asrama penginapan santri dan balai pengajian merupakan barak-barak darurat yang dibangun dari dinding dan alas bambu serta beratap pelepah rumbia. Setelah Teungku H. Syahabuddin bin Idris meninggal (1935 M), dayah tersebut dipimpin oleh adik ipar beliau yaitu Teungku H. Hanafiah bin Abbas (Tgk. Abi) dengan jumlah santri 150 putra dan 50 putri serta bangunan tempat penampungan santri masih di barak-barak darurat. Dalam masa kepemimpinannya, pernah diperbantukan kepada Teungku M. Shaleh lebih kurang dua tahun karena Teungku H. Hanafiah bin Abbas (Tgk. Abi) berangkat ke Makkah untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan agama Islam. Pada tahun ketiga Teungku H. Hanafiah bin Abbas di Makkah, dayah ini di bawah pimpinan Teungku H. Ibrahim Lueng Keubeu dan beliau tetap setia menemani Teungku H. Hanafiah bin Abbas dalam mengelola dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga.

Sepeninggalan Teungku H. Hanafiah bin Abbas (Tgk. Abi) yang wafat pada tahun 1959 M, dayah tersebut dipimpin oleh menantunya yaitu Tgk. H. Abdul Aziz bin M. Shaleh. Beliau ini adalah lulusan dayah Bustanul Muhaqqiqin Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan. Ia memimpin dayah tersebut selama 30 tahun (1958 – 1989 M). Semenjak kepemimpinan Tgk. H. Abdul Aziz dayah tersebut semakin berkembang, santri terus berdatangan baik dari Aceh sendiri maupun dari luar Aceh. Dari segi pembangunan juga diadakan perubahan dari barak-barak darurat ke asrama semi permanen berlantai dua dan asrama semi permanen berlantai tiga. Untuk santri putri juga dibangun asrama semi permanen berlantai dua yang dapat menampung 150 orang santri. Setelah Teungku H. Abdul Aziz bin M. Shaleh meninggal, dengan hasil kesepakatan para alumni dan masyarakat, dayah ini dipimpin oleh salah seorang menantunya yaitu Teungku H. Hasanoel Bashry bin H. Gadeng atau lebih dikenal dengan Abu MUDI (masa kepemimpinan 1988 M-sekarang). Beliau merupakan lulusan dayah MUDI Msejid Raya itu sendiri. Di masa kepemimpinan Teungku H. Hasanoel Bashry bin H. Gadeng dayah ini semakin berkembang dan mampu beradaptasi seiring dengan perubahan masa, oleh sebab pesatnya kemajuan dari lembaga pendidikan ini, Samalanga sebagai pusat kota domisili dayah dikenal dengan nama “kota santri”.

Dari perjalanan sejarah dengan usianya yang sudah tua, dayah MUDI Mesjid Raya tentu telah banyak mencetak kader-kader dakwah dan ulama yang mutaffaqqih fiddin. Kebanyakan dari alumni lulusan dayah ini banyak yang pulang ke daerah asal mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bentuk mendirikan lembaga pendidikannya sendiri atau melanjutkan pengelolaan lembaga pendidikan yang telah ada. Lembaga pendidikan yang dikelola mandiri oleh alumni ini atau dikenal dengan dayah cabang binaan Dayah MUDI Mesjid Raya telah mencapai 130 dayah/pesantren dan 314 balai pengajian/TPA/TPQ yang tersebar di daerah Aceh dan luar Aceh. Selain itu, sebagian alumni juga berkiprah di pemerintahan baik di tingkat kabupaten, daerah maupun nasional, hal ini menjadi tanda bahwa cita-cita luhur dayah yang menginginkan agar lulusannya bermamfaat dan menjadi solusi bagi masyarakat sudah mulai terwujud. Keseluruhan alumni dayah tersebut bernaung di bawah payung Lembaga Rabithah Alumni dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga. Salah satu perkembangan yang harus direspon oleh dayah MUDI Mesjid Raya adalah pengembangan kualitas ulama yang dihasilkan bukan hanya mampu dalam bidang keilmuan agama saja. Namun bagaimana ilmu yang dimilikinya mampu diaplikasikan dalam masyarakat yag sedang berkembang. Untuk menyahuti perkembangan tersebut, maka dibentuklah jenjang pendidikan tinggi yang diberi nama dengan Ma’had Aly, hal ini tentunya dengan penyesuaian kurikulum dan penambahan mata pelajaran sesuai dengan kebutuhan.

Dengan menelusuri sejarah, ditemukan bahwa wacana ini bukanlah wacana yang baru lahir sekarang. Mengutip dari kata sambutan yang disampaikan oleh Abu Syekh H. Hasanoel Bashry HG (Abu Mudi) ketika membuka Workshop Ma’had Aly yang dilaksanakan di dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga, beliau mengatakan bahwa sebenarnya wacana Ma’had Al sudah sering sekali diwacanakan oleh Allah Yarham Abon Abdul Aziz (Pimpinan sebelum Abu MUDI). Menurut Abu MUDI, hanya saja dengan melihat potensi dan dukungan fasilitas yang ada sekarang ini adalah saat yang tepat untuk menghadirkan Ma’had Aly di Dayah MUDI Mesjid Raya. Setelah persiapan yang matang, maka pada hari Sabtu 10 Sya’ban 1430 H/01 Agustus 2009 M secara resmi Ma’had Aly MUDI Mesjid Raya resmi didirikan.

Ma’had Aly sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tinggi pesantren tentu mempunyai arah capaian sebagai bentuk konsistensi dalam melahirkan lulusan yang memiliki spesifikasi keahlian dalam bidang keilmuan tertentu. Oleh karena itu, ma’had aly dituntut untuk memilih satu bidang keilmuan tertentu sesuai dengan ciri khas, keahlian pendiri dan tuntunan sejarah pesantren tersebut. Tuntunan ini bertujuan untuk melestarikan keilmuan tertentu yang mempunyai sanad dan kekhasan yang telah menjadi aset dan kekayaan ilmu agama bercorak nusantara. Ma’had Aly MUDI Mesjid Raya adalah satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pesantren/dayah MUDI Mesjid Raya yang menyelenggarakan pendidikan tinggi takhassus fiqh wa ushuluh. Fiqh adalah pemahaman terhapat hukum syar’i yang bersifat pengamalan yang dipahami dari dalil terperinci. Fiqh merupakan cabang ilmu yang membahas hukum praktis yaitu hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Jadi, fiqh secara garis besar mencakup relasi manusia dengan Tuhan dan relasi sesama manusia (legal system). Sementara ushul fiqh merupakan suatu ilmu yang terdiri dari tiga pokok pembahasan utama, yaitu kaidah-kaidah fiqh yang bersifat global, metode istifadah serta kriteria seorang mujtahid.

Ilmu fiqh adalah ilmu yang sangat penting karena ia adalah poros semua ilmu lain. Semua ilmu mengarahkan temuannya ke muara yang bernama ilmu fiqh. Ilmu ini juga sangat penting karena dengan ilmu inilah manusia mengetahui hal-hal yang haram dan halal, hal-hal yang disukai dan dibenci Allah. Dengan demikian, lewat ilmu ini manusia akan mampu membedakan hal tersebut sehingga dapat menempuh jalan hidup yang diridhai oleh Allah SWT sehingga menggapai sa’adah al-darain (kebahagiaan dunia dan akhirat). Ilmu Fiqh dapat diilustrasikan dengan mata air kehidupan yang menghilangkan dahaga jiwa manusia. Berkat ilmu ini kita mengetahui tata cara hidup yang membawa kepada kesejahteraan, mengetahui apa yang harus kita tinggalkan untuk menghindari bahaya, bencana, dan kesedihan. Berkat ilmu ini juga kita mengetahui cara menggunakan nikmat Allah di dunia dan meraih nikmat yang lebih sempurna di akhirat. Ilmu Fiqh adalah salah satu ilmu Islam yang paling luas, paling bercabang, dan paling tua sejarahnya. Islam telah melahirkan fuqaha yang tak terhitung jumlahnya, banyak di antara mereka termasuk jenius dunia, kitab fiqh tak terhitung banyaknya dan banyak sekali yang sangat penting nilainya. Seorang faqih dapat membahas masalah apa saja yang mencakup semua aspek kehidupan manusia. Apa pun yang dibahas pada zaman sekarang dalam tema hukum, sudah dibahas, bahkan lebih mendalam, di dalam bab-bab fiqh.

Hukum yang dibangun di atas fiqh memiliki karakter relijius karena hukum fiqh adalah hukum Tuhan. Fiqh Islam berbeda dengan hukum konvensional atau hukum buatan manusia yang sumbernya tidak memiliki karakter relijius. Di dalam hukum konvensional, tidak ada istilah halal dan haram. Hukum konvensional tidak berkaitan dengan akidah, tidak menyentuh batin dan hati nurani, dan hanya memperhatikan aspek material atau apa yang bisa dan tidak bisa dibuktikan di depan hakim. Fiqh adalah wujud nyata pengaruh Islam pada perbuatan manusia atau masyarakat. Maju mundurnya Islam dapat diukur dengan pasang surutnya aplikasi fiqh dalam kehidupan pribadi atau masyarakat. Mundurnya umat Islam pada saat ini sama dengan surutnya fiqh dari panggung kehidupan. Karena itu, kebangkitan umat Islam dan tantangan kebudayaan kontemporer menuntut para ulama untuk merumuskan formula tentang orisinalitas dan keterbukaan Islam dan pengaruh dan histori inilah yang menyebabakan Ma’had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga melaksanakan pendidikan dalam bidang fiqh dan ushul fiqh.

Ada tiga hal yang harus menjadi perhatian ma’had aly dalam menjalankan pendidikannya, yaitu distingsi, excellency, dan destinasi. Dalam perannya sebagai peyelenggara pendidikan tinggi, ma’had aly harus mempunyai distingsi atau fokus kajian tertentu yang menjadi prioritas agar mahasantri dapat tabahhur (memiliki kedalaman ilmu) dalam bidang yang dikajinya. Kedalaman keilmuan dalam bidang tertentu akan menjadikan ma’had aly sebagai lembaga pendidikan yang unggul dan menjadi pilihan (excellency) bagi pelajar. Beranjak dari dua hal ini akan bermuara pada capaian ma’had aly sebagai salah satu destinasi pendidikan bagi siapa saja yang ingin menekuni cabang keilmuan tertentu sesuai ditingsi yang dikehendaki. Ma’had Aly MUDI Mesjid Raya memilih distingsi fiqh al-nazha`ir wa tathbiquh yang merupakan suatu cabang ilmu fiqh yang secara khusus melakukan studi naskah literatur fiqh sebagai solusi dalam menjawab problematika aktual. Dalam distingsi ini mahasantri dituntut untuk mampu melakukan ilhaq wa takhrij, memahami al-furuq al-fiqhiyyah serta kaidah-kaidah yang berkaitan dengan fiqh. Dengan semakin banyaknya masalah fiqh yang berkembang, kemampuan dalam bidang fiqh al-nazha`ir ini menjadi suatu keniscayaan agar fiqh tetap dapat menjadi solusi terhadap problematika keumatan dan dapat relevan dengan konteks kekinian.

Apa yang menjadi pilihan dari Ma’had Aly MUDI Mesjid Raya ini memang sesuai dengan jejak sejarah di mana para masyaikh dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dari generasi ke generasi menaruh perhatian yang lebih terhadap persoalan fiqh. Kegiatan mubahasah dan bahtsul masa`il telah diselenggarakan di dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dari sejak lama sehingga kegiatan ini menginspirasi adanya mubahasah di pondok pesantren lainnya di Aceh. Maka lahirnya ma’had aly dengan distingsi fiqh al-nazha`ir wa tathbiquh sangat sesuai dengan kebutuhan dari dayah MUDI sendiri untuk memiliki kader-kader yang mumpuni dalam bahtsul masa`il. Selain itu, pimpinan dayah MUDI sebelumnya, Abon Abdul Aziz bin Muhammad Shaleh merupakan pegiat bahtsul masa`il semenjak masa belajarnya bersama Abuya Muhammad Waly Al-Khalidi. Beliau memimpin dayah MUDI dari tahun 1958 sampai dengan 1989 M. Lewat didikannya lahir banyak ulama di Aceh. Saat ini, lebih dari 300 dayah cabang Al-Aziziyah yang tersebar di Aceh dan di luar Aceh. Maka pengembangan fiqh al-nazha`ir merupakan salah satu usaha melanjutkan perjuangan dari Almaghfurlah yang manfaatnya telah terbukti.

Dalam masa tafaqquh-nya di dayah Darussalam Labuhan Haji di bawah asuhan Abuya Muhammad Wali Al-Khalidi, Abon Abdul Aziz terlibat aktif dalam Majelis Sasawan (Safinat al-Salamah wa al-Najah) yang diketua oleh Tgk Alami. Majelis Sasawan dibentuk oleh Abuya Muda Wali bentuk pada tahun 1953. Di antara hal yang ditangani lembaga ini adalah menjawab berbagai macam pertanyaan yang datang dari berbagai daerah. Lembaga ini aktif menuliskan balasan surat dari berbagai daerah di Aceh maupun dari luar Aceh. Pertanyaan tersebut sebagiannya dijawab langsung oleh Abuya dan sebagian lainnya dijawab oleh muridnya. Sebagian dari pertanyaan tersebut telah dibukukan oleh Tgk. Kamal Basyah dalam kitab Fatawa Abuya. Namun sebenarnya masih banyak surat menyurat lain yang belum terbukukan sebagaimana yang ditemukan dalam buku catatan Abon. Surat-surat tersebut ditulis dalam tulisan Arab dan tulisan jawi. Sebagian dari surat jawaban Abuya ditulis dalam risalah kecil yang diberikan judul masing-masing. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa dipilihnya distingsi fiqh al-nazha`ir wa tatbiquh oleh Ma’had Aly MUDI Mesjid Raya merupakan salah satu solusi untuk mempersiapkan generasi bahtsul Masa`il yang mampu melanjutkan dan mengembangkan tradisi yang pernah dijalankan oleh Abon Abdul Aziz dalam masa pengembaraan keilmuannya, juga saat beliau memimpin dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga. Tradisi ilmiah bahtsul masa`il serta pendalaman fiqh al-nazha`ir menjadi suatu keharusan, terlebih di era modern ini. Lewat fiqh al-nazha`ir wa tatbiquh diharapkan akan lahir para mutafaqqih yang memiliki kepakaran dalam melakukan analisa naskah literatur turats sebagai jawaban terhadap problematika umat.