oleh: Tgk. H. Muhammad Iqbal Jalil, M.Ag (Dosen Ma’had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga)
Sebelum berangkat ke Maroko, saya sudah mencoba baca-baca sekilas info tentang Maroko, khususnya dari Buku “Al-Maghrib Maliki Limaza?” yang ditulis oleh Dr Muhammad Ar-Rougi. Dalam buku ini ditulis bahwa Islam telah masuk ke Maroko sejak awal pertengahan kedua dari abad pertama Hijriah. Maroko berhasil ditaklukan pada tahun 62 H melalui tangan Uqbah bin Nafi’ al-Fihri. Kemudian, diperluas lagi oleh Musa bin Nushair yang menyelesaikan tugasnya pada tahun 87 H.
Penduduk Maroko pada awalnya berfikih dengan mengikuti Mazhab Abu Hanifah, Imam Awza’i dan lainnya, hingga baru kemudian berkembang Mazhab Maliki yang menjadi Mazhab utama kaum Muslimin Maroko hingga sekarang. Menurut pendapat yang masyhur, sebagaimana yang disampaikan oleh An-Nashir dalam kitab Intishar-nya menyatakan bahwa Mazhab Maliki sebenarnya lebih duluan berkembang di Andalusia, kemudian baru menyebar ke Maroko pada Dinasti Idrisiyah. Kitab Al-Muwatha’ karya Imam Malik adalah kitab pertama tentang hadits dan fiqih yang masuk ke Maroko. Kitab ini dibawa oleh Amir bin Abi Amir dari Masjid Nabawi di Madinah ke Fes.
Ada 3 pondasi utama yang menjadi karakteristik Islam di Maroko dalam bidang aqidah, fikih dan tasawuf. Hal ini selaras dengan cakupan nazham Mursyidul Mu’in ‘ala al-Dharuri min ‘Ulumiddin yang ditulis oleh Abdul Wahid Ibn ‘Asyir, salah seorang Faqih Maliki asal Fes, Maroko. Ibnu Asyir menyampaikan pada bait ke-5 dari manzhumah-nya:
في عقد الأشعري وفقه مالك # وفي طريقة الجنيد السالك
“Pada aqidah ‘Asy’ari, dan Fikih Maliki, dan pada thariqat Junayd, seorang salik (yang menempuh jalan ilallah).”
Kitab Mursyidul Mu’in ini ditulis oleh Ibnu ‘Asyir dalam perjalanannya menunaikan ibadah haji. Kitab ini menjadi bacaan wajib sebagai kurikulum dasar bagi penganut Mazhab Maliki. Bahkan, sasaran kitab ini diperuntukkan kepada Kaum Ibu untuk bisa membekali anak mereka tentang hal-hal dasar yang wajib diketahui. Inilah yang dimaksud dengan “al-Dharuri min ‘Ulumiddin”, yaitu sesuatu yang mesti diketahui tentang perkara agama.
Ibnu ‘Asyir menyampaikan:
وبعد فالعلم من الله المجيد # في نظم أبيات للأمي تفيد
Kitab ini sasarannya adalah orang awam, agar mereka memiliki panduan dalam membekali dirinya tentang hal yang dharuri (yang menjadi keniscayaan dan kewajiban untuk diketahui) tentang persoalan agama. Kitab ini diawali dengan pembahasan aqidah, dilanjutkan dengan fikih ibadah, dan diakhiri dengan pembahasan mabadi tasawuf. Pondasi tiga ilmu fardhu ain ini dibangun atas aqidah ‘Asy’ari, fikih Maliki, dan thariqat Junaid al-Baghdadi.
Sebagai penganut mazhab Syafi’i, tentu kita akan merasakan beberapa perbedaan amaliah saat berada di Maghrib Aqsha. Jika kita melihat di tempat-tempat wudhu’ di sini banyak tersedia gayung kecil untuk berwudhu’ darinya, di Fikih Maliki tidak repot, karena mereka tidak mengenal istilah musta’mal fi fardhi thaharah. Air musta’mal dalam Mazhab Maliki masih dikategorikan muthahhir. Kalau kita di Indonesia qunutnya setelah ruku’ saat i’tidal, di sini qunutnya malah sebelum ruku’, setelah membaca surat yang dibaca masing-masing secara sirr. Jadi, memang ada perbedaan yang signifikan dalam hal amaliah saat kita berada di negara yang kental dengan fikih Maliki, belum lagi dengan qira’ah-nya yang tidak menggunakan bacaan Imam Hafash.
Kemarin, kami sempat belajar sekilas wawasan fikih Maliki. Kami diajarkan bahwa dalam Mazhab Maliki juga ada istilah-istilah yang mesti diketahui. Kalau dalam Mazhab Syafi’i, kita mengenal bahwa yang dimaksud dengan Syaikhani adalah al-Nawawi dan al-Rafi’i, yang dimaksud dengan al-Imam adalah Imam Haramain, dalam Mazhab Maliki juga terdapat beberapa istilah tersendiri seperti al-Syaikhani, al-Muhammadani, dan al-Qadhiyani yang dimaksud kepada ulama tertentu.Ibnu Naji menyebutkan;
لولا الشيخان، والمحمدان، والقاضيان، لذهب المذهب! “Jika bukan karena al-Syaikhani, al-Muhammadani, dan al-Qadhiyani, maka hilanglah Mazhab”
Sosok ulama yang dimaksud dengan al-Syaikhani (dua orang Syaikh) di sini adalah Abu Muhammad bin Abi Zaid dan Abu Bakar Al-Abhari. Kemudian yang dimaksud dengan al-Muhammadani (dua orang Muhammad) di sini adalah Muhammad bin Suhnun dan Muhammad bin al-Mawwaz. Sedangkan yang dimaksud dengan al-Qadhiyani (dua orang Qadhi) adalah Abu Muhammad Abdul Wahab dan Abu Al-Hasan Ibn al-Qashar.
Perbedaan mazhab ini bukanlah hal baru dalam Islam. Perbedaan furu’ telah muncul sejak masa Rasulullah SAW, seperti contohnya para Sahabat memiliki perbedaan pandangan tentang cara memahami maksud Rasulullah SAW “agar jangan ada yang melakukan shalat Ashar sebelum sampai ke perkampungan Bani Quraidhah”. Sahabat dalam hal ini terbagi dalam dua kelompok, ada yang mengambil zahir Nash, dimana mereka tidak melakukan shalat Ashar kecuali saat tiba di Bani Quraidhah, meskipun sudah terbenam matahari. Sedangkan sebagian lainnya memahami bahwa konteks dari Sabda Rasulullah ini adalah pesan untuk mempercepat perjalanan, sehingga bisa tiba di perkampungan Bani Quraidhah sebelum habis waktu ashar. Ketika ternyata target itu tidak tercapai, mereka tetap shalat Ashar pada waktunya sebelum terbenam matahari. Kedua kelompok Sahabat ini diakui dan dibenarkan oleh Rasulullah SAW.
Alhamdulillah, melalui beasiswa Non Degree Dana Abadi Pesantren kerjasama Kemenag RI – LPDP, kami mendapatkan kesempatan berharga untuk menggali khazanah keilmuan dan keunikan tsaqafah dari negeri Matahari terbenam ini. Tentu saja, antara satu tempat dan tempat lain pasti memiliki keunggulan dan kekurangan tersendiri. Dari hal positif kita ambil pelajaran, dari kekurangannya kita jadikan pengalaman.
Muhammad Iqbal Jalil Dosen Ma’had Aly MUDI _Penerima Beasiswa Non-Degree KTI Turats, Kemenag RI – LPDP._..