Abi MUDI Soroti Pentingnya Dhawabith Syari’ah dalam Penalaran Maslahah

Medan – Abi Dr. H. Zahrul Mubarrak HB, M.Pd, berhasil meraih gelar Doktor dari Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), Medan, setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “Tarjih Maslahah atas Mafsadah dalam Istinbath Hukum Islam (Analisis Metode Imam Izzuddin bin Abdussalam)” dalam sidang promosi doktor pada Senin (20/4/2024). Abi MUDI mendapatkan yudisium terpuji (cumlaude) dan resmi menjadi doktor ke-589 UINSU Medan. Penelitiannya mengungkapkan pandangan mendalam tentang konsep maslahah dan mafsadah dalam syariat Islam.

Dalam disertasinya, Abi MUDI juga mengangkat pemikiran al-Syathibi, seorang cendekiawan Muslim terkenal yang menegaskan bahwa syariat dibangun atas pertimbangan kemaslahatan. Namun, maslahah harus dipahami dari perspektif hukum yang ditetapkan oleh Syari’ (Pembuat Hukum), bukan dari pemahaman mukallaf (subjek hukum). Kata al-Syathibi;

أن الشريعة مبنية على اعتبار المصالح، وأن المصالح إنما اعتبرت من حيث وضعها الشارع كذلك، لا من حيث إدراك المكلف؛ إذ المصالح تختلف عند ذلك بالنسب والإضافات

Artinya: “Sesungguhnya syariat terbangun di atas pertimbangan maslahah. Maslahah hanya akan dipertimbangkan sebagai maslahah adalah dari perspektif hukum yang telah diletakkan oleh Syari’, bukan dari sisi pemahaman mukallaf, karena maslahah akan menjadi berbeda-beda tergantung perspektif dan subjektivitas masing-masing.”

Pernyataan al-Syathibi ini memberikan gambaran yang konkrit tentang bagaimana posisi maslahah dalam Syariat Islam. Syariat atau hukum Islam dibangun atas dasar pertimbangan kemaslahatan. Akan tetapi pertimbangan maslahah hanya dapat dilihat dari lensa hukum yang telah diletakkan oleh Syari’. Itu artinya kemaslahatan yang dipertimbangkan haruslah selaras dengan prinsip-prinsip ajaran Islam dan tidak boleh bertentangan dengan norma hukum syariat yang ada. Kemaslahatan harus dilihat dari perspektif Syari’ bukan dari sudut pandang mukallaf.

Menurut Abi MUDI, pernyataan al-Syatibi juga menunjukkan relativitas maslahah, di mana setiap individu memungkinkan memiliki persepsi yang berbeda dalam menilai maslahah berdasarkan paradigma masing-masing. Oleh karena itu, penggunaan metode istislahi harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah subjektivitas yang dapat mengaburkan kepastian hukum.

Abi MUDI lebih memilih untuk mengambil sikap tengah terkait ruang lingkup penggunaan metode istislahi dalam Istinbath Hukum Islam dengan membedakan antara perkara yang bersifat tsawabit (perkara baku) dan mutaghayyirat (perkara dinamis) dalam agama. Ia mengakui bahwa hukum-hukum yang terkait dengan kemaslahatan atau ‘urf (kebiasaan) bersifat dinamis dan dapat berubah sesuai waktu dan kondisi. Fleksibilitas metode ini penting untuk mengakomodasi perubahan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Sementara perkara tsawabit yang tidak dikaitkan pensyariatannya dengan ‘urf, ini tidak berubah dengan sebab perubahan zaman dan kondisi. Sikap tengah ini bertujuan menggabungkan penalaran istislahi yang relevan dengan zaman dan realitas sosial, sambil berupaya agar prinsip-prinsip baku dalam agama tetap dapat terjaga.

Abi MUDI menekankan pentingnya batasan dalam penggunaan metode istislahi untuk mencegah pemahaman dan aplikasi yang serampangan. Menurutnya, penggunaan metode penalaran istishlahi dalam Istinbath Hukum Islam harus senantiasa berada dalam bingkai dhawabith syari’ah.

Share

Add Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *